SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban Membuka Pendaftaran Calon Taruna-Taruni Baru, Gelombang II Tanpa Tes. Pendaftaran Dibuka 01 - 30 Juli 2020, SPP Gratis, Fasilitas Pendukung Belajar yang Lengkap, Terakreditasi A, Sertifikasi ISO 9001, dan Berpredikat Excelent School. Buruan Daftar...Kuota Terbatas

Perusahaan Pelayaran

Pengertian   Perusahaan   Perkapalan   terdapat   dalam   pasal   323 sampai 340f KUHD, ada 24 buah pasal. Perusahaan Pelayaran (Rederij) adalah suatu badan      yang menjalankan perusahaan dengan cara mengoperasikan  kapal  atau  usaha  lain  yang  erat hubungannya  dengan kapal.


1). Syarat Perusahaan Pelayaran

Dalam  Pasal  15  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  tahun  1969 tentang  Perhubungan  laut  yang  berisi  ketentuan  mengenai  perusahaan pelayaran harus memenuhi syarat-syarat:
  merupakan perusahaan pelayaran milik negara.
merupakan  perusahaan  milik  pemerintah  daerah  sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas.
.   memiliki  satuan-satuan  kapal  lebih  dari  satu  unit  dengan jumlah  minimal  3.000  m3  isi  kotor  dengan  memperhatikan syarat-syarat teknis/nautus perhitungan untung rugi.
  tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha
.   melaksanakan kebijaksanaan angkutan laut nusantara
Bila  persyaratan  sebagaimana  tersebut  diatas  sudah  dipenuhi, maka perusahaan pelayaran dikenai kewajiban-kewajiban antara lain:
melaksanakan   ketentuan   yang   ditetapkan   dalam   surat perjanjian.
 mengumumkan kepada umum mengenai peraturan perjanjian kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan.
menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan, dan pos satu dan yang lain sesuai dengan persyaratan teknis kapal.
memberikan  prioritas  kepada  pengangkutan  barang-barang sandang pangan lain sesuai dengan persyaratan teknis bahan- bahan industri dan eksport.
 memberitahukan  kepada  pejabat  yang  ditunjuk  oleh  menteri Perhubungan, tarif pengangkutan  yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan Conference atau bentuk kerjasama lainnya. Dan lain-lain.


2). Jenis-jenis Pelayaran

Menurut  Pasal  5  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun  1969, jenis-jenis pelayaran dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
(1).   Pelayaran dalam negeri
a.     Pelayaran  nusantara,  yaitu  pelayaran  antar  pulau  antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan.
b. Pelayaran lokal atau pelayaran jurusan tetap, yaitu bertugas menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri, dengan menggunakan kapal-kapal di bawah tonase
175 BRT.
c.      Pelayaran   rakyat,   yaitu   pelayaran   nusantara   dengan menggunakan perahu layar tradisional
d. Pelayaran penundaan laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan  tongkang-tongkang  yang  ditarik  oleh  kapal- kapal tunda (tugboat).
(2).   Pelayaran luar negeri
a.    Pelayaran  samudra  dekat,  yaitu  pelayaran  ke  pelabuhan- pelabuhan  negara  tetangga  yang  tidak  lebih  dari  3000  mil laut  dari  pelabuhan  terluar  Indonesia  (tanpa  memandang jurusan).
b. Pelayaran samudra, yaitu pelayaran dari dan ke luar negeri yang bukan pelayaran samudra dekat.
(3).   Pelayaran  khusus,  yaitu  merupakan  pelayaran  dalam  dan  luar negeri  dengan  menggunakan  kapal-kapal  pengangkut  khusus untuk  pengangkutan  hasil  industri,  pertambangan  dan  hasil- hasil  usaha  lainnya  yang  bersifat  khusus.  Misalnya:  minyak bumi, batu bara.


Nahkoda
Ketentuan Pasal 341 dan Pasal 377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah Pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga kerja yang telah menandatangani   perjanjian   kerja   laut   dengan   perusahaan   pelayaran sebagai nahkoda, yang memenuhi syarat dan tercantum dalam sijil anak buah       kapal       sebagai     nahkoda             ditandatangani     dengan         mutasi  dari perusahaan   dan   pencantuman   namanya   dalam   surat   laut.   (Djoko Triyanto,   2005:32).   Dalam   menjalankan   tugasnya   sehari-hari   diatas kapal mempunyai jabatan penting:


1). Nahkoda sebagai Pemimpin kapal
Tugasnya selaku pemimpin kapal, mengandung arti nahkoda merupakan  pemimpin  tertinggi  dalam  mengelola,  melayarkan  dan mengarahkan kapal tersebut. Demikian pula, setiap anak buah kapal akan  turun  ke  darat  bila  kapal  sedang  berlabuh,  maka  ia  harus meminta  ijin  lebih  dahulu  kepada  nahkoda,  dan  jika  ijin  tersebut ditolaknya,  maka  nahkoda  harus  menulis  dalam  buku  harian  kapal dengan  alasan  yang  cukup  sebagaimana  ditentukan  pada  pasal  385 KUHD.  Selain  itu  nahkoda  harus  melayarkan  kapalnya  dari  suatu tempat  ke  tempat  lain  dengan  aman,  tepat  waktu,  praktis,  dan selamat.

2). Nahkoda sebagai pemegang kewibawaan umum
·         kewibawaan  terhadap  semua  pelayar,  artinya  :  semua orang  yang  berada  di  kapal,  wajib  menuruti  perintah- perintah   nahkoda   guna   kepentingan   keselamatan   atau ketertiban umum.
·         kewibawaan  disiplin  terhadap  anak  buah  kapal,  artinya  :
para awak kapal berada dibawah perintah nahkoda.

3). Nahkoda sebagai jaksa atau abdi hukum.
Di  tengah  laut  nahkoda  wajib  menyelidiki  atau  mengusut kejahatan yang terjadi di dalam kapalnya :
·         mengumpulkan  bahan-bahan  mengenai  peristiwa  yang terjadi.
·         menyita barang-barang yang dipakai dalam peristiwa itu
·         mendengar  para  tertuduh  dan  saksi  dan  membuat  berita acara keterangannya.
·          mengambil     tindakan    terhadap     tertuduh,    menurut kebutuhan.       Misal:  mengasingkannya  ( menutup )  di dalam kamar tutupan.
·         menyerahkan   tertuduh   dengan   bahan-bahannya   kepada Pengadilan negeri di pelabuhan pertama yang disinggahi. Nahkoda wajib pula mencatat peristiwanya dan tindakan- tindakan yang telah diambilnya di dalam daftar hukuman.

4). Nahkoda sebagai pegawai catatan sipil
Apabila  selama  dalam  pelayaran  ada  seseorang  anak  lahir atau seseorang meninggal di kapal, nahkoda harus membuatkan akta- akta pencatatan sipil yang bersangkutan di dalam buku harian kapal.
a.  Pada kelahiran
Apabila ada seorang anak lahir, nahkoda harus membuat akta kelahiran di dalam buku harian kapal, dalam waktu 24 jam, dengan dihadiri oleh si ayah dan dua orang saksi. b.  Pada Kematian Apabila ada seorang meninggal dunia di kapal, nahkoda harus  membuat  akta  kematian  juga  dalam waktu  24  jam dengan  dihadiri  pula  oleh  dua  orang  saksi.  Sebab-sebab kematian   tidak   boleh  disebut  dalam   akta   itu,   tetapi nahkoda  wajib  mencatat  di  dalam  buku  hariannya.  Jika ada  seseorang yang  jatuh  di  laut  maka  nahkoda  tidak selalu   membuat   akta   kematian,   berhubungan  dengan kemungkinan  si  korban  akan  mencapai  kapal  lain  atau daratan.  Dalam  hal  sebaliknya, nahkoda  harus  membuat akta tersebut serta menyebutkannya dengan jelas di dalam buku  harian  kapal,  mengenai  tempat  dimana  kecelakaan itu  terjadi,  keadaan  cuaca,  berapa  lama  telah  dicari,  ada kapal lain di dekatnya, dan sebagainya.

5). Nahkoda sebagai notaris
Dalam pasal 947, 950 dan 952 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa, bilamana nahkoda dapat bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat wasiat seseorang di atas kapal. Surat warisan itu kemudian ditandatangani oleh pewaris yang ada, nahkoda dan dua orang saksi. Pembuatan  surat  wasiat  tersebut  didasarkan  atas  keadaan yang   tidak   dimungkinkan   si   pewaris   menemui   pejabat   yang berwenang.Surat  wasiat  hanyalah  berlaku  sementara  waktu  saja,  sebab apabila  si  pewaris  itu  meninggal  dunia  lebih  dari  6  bulan  setelah pembuatan surat wasiat itu, maka surat itu tidak berlaku lagi.

Pengusaha Kapal
Pengusaha  kapal  (Reder)  adalah  seseorang  yang  mengusahakan kapal  untuk  pelayaran  di  laut  dengan  melakukan  sendiri  pelayaran  itu, ataupun  menyuruh  melakukannya  oleh  seorang  nahkoda  yang  bekerja padanya.   (Pasal   320   Kitab   Undang-undang   Hukum   Dagang).   Pada lazimnya  seorang  pengusaha  dalam  menjalankan  usahanya  mempunyai tujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnnya dengan biaya dan  tenaga  atau  modal  yang  sekecil-kecilnya.  Dalam  praktik  sering terjadi pemilik kapal menyewakan kapalnya pada orang lain yang akan bertindak sebagai pengusaha kapal, atau dapat juga menjalankan sendiri kapalnya dan ia bertindak sebagai nahkoda.

Awak kapal atau anak buah kapal
Anak buah kapal adalah semua orang yang berada dan bekerja di kapal  kecuali  nahkoda,  baik  sebagai  perwira  ,  bawahan  (kelasi)  atau supercargo   yang   tercantum  dalam   sijil   anak   buah   kapal   dan   telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran.
Adapun  syarat-syarat  wajib  yang  harus  dipenuhi  untuk  dapat bekerja  sebagai  anak  buah  kapal  sesuai  dengan  Pasal  17  Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, antara lain:
·          memiliki   sertifikat   keahlian   pelaut   dan/   atau   sertifikat keterampilan  pelaut.
·         berumur sekurang-kurangnya 18 tahun
·          sehat  jasmani  dan  rohani  berdasarkan  hasil  pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu.
·   

Hak dan Kewajiban Anak Buah Kapal

Ø  Hak – hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama, walaupun ada perbedaan sedikit namun tidak begitu berarti. Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.7 tahun
2000 tentang Kepelautan antara lain:

1). Hak atas Upah
Besarnya  upah  yang  diperoleh  anak  buah  kapal  didasarkan atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang    Nomor  13  tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang  Kepelautan,  dan  tidak  bertentangan  dengan  Peraturan  gaji pelaut. Berdasarkan  Pasal  21  ayat  (1),  (2),  PP  No.7  tahun  2000, Upah tersebut didasarkan atas:
·         8 jam kerja setiap hari b. 44 jam perminggu
·         Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam d. Libur sehari setiap minggu
·         Ditambah hari–hari libur resmi
Ketentuan  di  atas  tidak  berlaku  bagi  pelaut  muda,  artinya mereka berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun tidak boleh bekerja melebihi  8  jam  sehari  dan  40  jam  seminggu  serta  tidak  boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah yang  dimaksud  tidak  termasuk  tunjangan  atas  upah  lembur  atau premi  sebagaimana  diatur  dalam  Pasal:  402,  409,  dan  415  Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit  adalah  yang  sesuai  dengan  yang  tertuang  dalam  perjanjian kerja  laut,  kecuali  upah  yang  dipotong  untuk  hal-hal  yang  sudah disetujui  oleh  anak  buah  kapal  tersebut  atau  pemotongan  yang didasarkan   pada    hukum   yang    berlaku.    Pengaturan   mengenai pemotongan  tersebut  menurut  Pasal  1602r  Kitab  Undang–undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut:
·         Ganti rugi yang harus dibayar
·         Denda–denda yang harus dibayar kepada perusahaan yang harus  diberi  tanda  terima  oleh  perusahaan  (Pasal  1601s KUHPerdata)
·         Iuran  untuk  dana  (Pasal  1601s  Kitab  Undang–Undang
·         Hukum Perdata).
·         Sewa rumah atau lain–lain yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinas.
·         Uang Muka (Persekot) atas upah yang telah diterimanya.
·         Harga pembelian barang–barang yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinasnya.
·         Kelebihan pembayaran upah-upah yang lalu.
·         Biaya  pengobatan  yang  harus  dibayar  oleh  anak  buah kapal (Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
·         Istri atau anggota keluarga lainnya sampai dengan keempat dengan  jumlah  maksimum  2/3  dari  upah  (Pasal  444-445
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Selain,    Pemotongan-pemotongan    tersebut    diatas,    maka besarnya  upah  anak  buah  kapal  juga  dapat  berkurang  disebabkan, antara lain:
·         Denda  oleh  nahkoda  sesuai  dengan  peraturan  perundang- undangan.
·         Pengurangan  upah  karena  sakit  yang  sampai  membuat anak buah kapal tidak dapat bekerja
·         Perjalanan pelayaran terputus.
·         Ikatan kerja terputus karena alasan–alasan yang sah.

Selain  itu  juga  harus  diperhatikan  bahwa  upah  anak  buah kapal dapat bertambah besarnya karena:
·         Pengganti  libur  yang  seharusnya  dinikmati  anak  buah kapal,  akan  tetapi  tidak  diambilnya  (Pasal  409  dan  415
·         KUH Dagang) atau atas permintaan pengusaha angkutan perairan  paling  sedikit  20  hari  kalender  untuk  setiap jangka waktu 1 tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah   sejumlah   cuti   yang   tidak   dinikmati   (Pasal   24
·         Peraturan Pemerintah)
·         Pembayaran  waktu  tambahan  pelayaran,  jika  perjanjian kerja laut untuk suatu pelayaran karena suatu kerusakan, sehingga  terpaksa  berhenti  di  pelabuhan  darurat  (Pasal
·         423 KUH Dagang)
·         Pembayaran  kerja  lembur,  yaitu  jam  kerja  melebihi  jam kerja  wajib.  Khusus  untuk  upah  lembur  hari  minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa.
·         Menurut  Pasal  22  Peraturan  Pemerintah  No.7  tentang Kepelautan, Perhitungan upah lembur sebagai berikut: Rumus =  Upah minimum  x 1,25
·         190
·         d.   Pembayaran    istimewa,    karena    mengangkut    muatan berbahaya,   menunda   menyelamatkan   kapal   lain   atau mengangkut   muatan   di   daerah   yang   sedang   perang, kecuali  untuk  tugas  negara  (Pasal  452f  Kitab  Undang- undang Hukum Dagang)
·         Mengemban  tugas  yang  lebih  tinggi  yang  tidak  bersifat insidentil,  seperti  Mualim  II  (Pasal  443  Kitab  Undang- undang Hukum Dagang).
·         Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.
·         Kelambatan  pembayaran  upah  dari  waktu  biasa  (Pasal
1801/ dan 1602n Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan pelayaran (Pasal 1602q Kitab Undang–undang Hukum Perdata dan
Pasal 452c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
Tidak  diberikan  makanan  sebagaimana  ditetapkan  yang menjadi hak anak buah kapal ( Pasal 436 dan 437 Kitab Undang–undang Hukum Dagang)

2).  Hak atas tempat tinggal dan makan
Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 Kitab Undang-undang Hukum Dagang   dan   Pasal   13   Schepelingen   Ongevalien   (S.O)   1935. Berdasarkan  ketentuan  pasal  tersebut,  anak  buah  kapal  berhak  atas tempat  tinggal  yang  baik  dan  layak  serta  berhak  atas  makan  yang pantas  yaitu  cukup  untuk  dan  dihidangkan  dengan  baik  dan  menu yang  cukup  bervariasi  setiap  hari.  Ketentuan  ini  dipertegas  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal25, yaitu:
·         pengusaha  atau  perusahaan  angkutan  di  perairan  wajib menyediakan makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap anak buah kapal.
·          makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah  minimum  3.600  kalori  perhari  yang  diperlukan anak   buah   kapal   agar   tetap   sehat   dalam   melakukan tugasnya.
·         air  tawar  harus  tetap  tersedia  di  kapal  dengan  cukup  dan memenuhi standar kesehatan.
Apabila  ketentuan  diatas  dilanggar  maka  dapat  dikatakan sebagai   pelanggaran   hukum,   dimana   anak   buah   kapal   dapat melakukan pemaksaan terhadap perusahaan pelayaran  untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.

3). Hak Cuti
Ketentuan yang mengatur hak cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan pada umumnya. Pasal 409 KUH Dagang menyebutkan:
“  Bilamana  nahkoda  atau  perwira kapal telah bekerja selama setahun  berturut-turut  /  terus  menerus,  maka  mereka  berhak atas  cuti  selama  14  hari  atau  bila  dikehendaki  pengusaha pelayaran  bisa  dilakukan  dua  kali,  masing-masing  delapan hari. Ini dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda” Hak  cuti  ini  gugur  bila  diajukan  sebelum  satu  tahun  masa kerjanya  berakhir.  Dan  hak  ini  berlaku  untuk  perjanjian  kerja  laut yang didasarkan atas pelayaran.
Pasal 415 KUH Dagang menyebutkan:
“Bilamana  anak  buah  kapal  telah  bekerja  selama  setahun terus   menerus   sedangkan   perjanjian   kerja   lautnya   bukan perjanjian kerja laut pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”. 4). Hak waktu sakit atau kecelakaan
Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain meliputi:
(1). Sakit Biasa
Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a.   Pengobatan  sampai  sembuh,  akan  tetapi  paling  lama  52 minggu bilamana diturunkan dalam kapal, demikian juga bila   dia   tetap   berada   di   kapal   berhak   mendapatkan pengobatan sampai sembuh (Pasal 416 KUH Dagang)
b. Pengangkutan cuma-cuma kerumah sakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan ke tempat ditandatanganinya perjanjian kerja laut (Pasal 416 KUH Dagang)
Selama anak buah kapal sakit atau kecelakaan ia berhak atas upah  sebesar  80%  dengan  syarat  tidak  lebih  dari  28  minggu  (Pasal
416a   KUH   Dagang),   dan   jaminan   diperoleh   disamping   biaya perawatan sampai sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah  kapal  mengadakan  perjanjian  kerja  laut  untuk  waktu  paling sedikit  satu  tahun  atau  bekerja  terus  menerus  selama  paling  sedikit satu setengah tahun.
Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b Kitab Undang-undang hukum dagang menentukan bahwa jika anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya mendapat perawatan  sampai  sembuh,  dan  upah  yang  diterima  diperhitungkan dengan interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua puluh enam) minggu.
Jaminan–jaminan  dalam  hal  perawatan  dapat  ditolak  oleh perusahaan pelayaran, apabila:
·         Anak buah kapal menolak menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri ke dokter.
·          Anak  buah kapal tidak menggunakan  kesempatan pengobatan
Menurut ketentuan Pasal 416f Kitab undang-undang Hukum Dagang,  tunjangan  atau  upah  dapat  tidak  dibayar  oleh  perusahaan pelayaran  atau  dikurangi  jumlahnya  bila  sakitnya  atau  kecelakaan yang terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau akibat kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.
(2). Sakit karena kecelakaan
Berdasarkan Pasal 1602 KUHPerdata, Anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak atas:
·         Tuntutan   ganti   rugi   bila   terbukti   kecelakaan   tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan pelayaran
·         Jika kecelakaan    menimpa  anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
·          Penggantian  akibat  kecelakaan  ditambah  dengan  hak-hak atas perawatan.
(3). Kapal tenggelam
Pada             umumnya     hampir semua kapal          yang           beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan pada P & I Club   (Protection   and   Indernity   Club).   Jaminan   yang   diberikan kepada  anak  buah  kapal  disesuaikan  dengan  peraturan  perundang– undangan  negara  mengenai  Anak  Buah  Kapal  yang  bersangkutan. Jadi       jika      kapal          tenggelam      tidak  akan   memberatkan  pihak perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g Kitab Undang-undang Hukum Dagang,  bahwa  perusahaan  wajib  memberikan  ganti  rugi  kepada anak buah kapal berupa:
·         Jumlah  upah  sampai  dia  tiba  kembali  di  tempat  dimana perjanjian kerja laut ditandatangani.
·         Jumlah  upah  selama  anak  buah  kapal  tersebut  belum bekerja paling lama 2 (dua) bulan.
·         Ganti  rugi  akibat  kelalaian  perusahaan  pelayaran  berupa barang  milik  anak  buah  kapal  dan  kerugian  lain  (  Pasal
·         1602w Kitab undang–undang hukum Perdata).
·          Bila  anak  buah  kapal  meninggal  dunia,  maka  perusahaan pelayaran  berkewajiban  menanggung  biaya  penguburan atau   pembuangan   jenazah   ke   laut   (Pasal   440   Kitab Undang-undang Hukum Dagang)

Kewajiban Anak Buah kapal
·          Bekerja  sekuat  tenaga,  wajib  mengerjakan  segala  sesuatu  yang diperintah oleh nahkoda.
·          Tidak  boleh  membawa  atau  memiliki  minuman  keras,  membawa barang  terlarang,  senjata  di  kapal  tanpa  izin  nahkoda  (  Pasal  391 )
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Keluar  dari  kapal  selalu  dengan  ijin  nahkoda  dan  pulang  kembali tidak terlambat (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Wajib   membantu   memberikan   pertolongan   dalam   penyelamatan kapal  dan  muatan  dengan  menerima  upah  tambahan  (Pasal  452/c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
·         Menyediakan   diri   untuk   nahkoda   selama   3   hari   setelah   habis kontraknya,  untuk  kepentingan  membuat  kisah  kapal  (Pasal  452/b Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Taat   kepada   atasan,   teristemewa   menjalankan   perintah-perintah nahkoda (Pasal 384 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

Perjanjian Kerja Laut
Perjanjian  kerja  laut  terdapat  dalam  Pasal  395  Kitab  Undang- undang  Hukum  Dagang  pada  title  ke  empat  Bagian  pertama.  Jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka akan tampak bahwa  perjanjian  kerja  laut  merupakan  perjanjian  perburuhan  yang bersifat  khusus.  Pasal  1601a  Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata menyebutkan   :   “Persetujuan   perburuhan   adalah   persetujuan   dengan mana  pihak  yang  satu,  si  buruh  mengikatkan  dirinya  untuk  di  bawah perintahnya  pihak  yang  lain,  si  majikan  untuk  sesuatu  waktu  tertentu melakukan  pekerjaan  dengan  menerima  upah”.  Sedangkan,  Pengertian Perjanjian kerja laut juga diatur dalam Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan:
“    Perjanjian  kerja  laut  adalah  perjanjian  yang  dibuat  antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk bertindak   di   bawah   pengusaha   itu   melakukan   pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak kapal.”
Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
2000 tentang Kepelautan, hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu         perjanjian kerja laut  adalah perjanjian    kerja perseorangan    yang    ditandatangani  oleh pelaut  Indonesia    dengan pengusaha angkutan di perairan.
         Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai Perjanjian  kerja  yang  dibuat  antara  seorang  majikan  atau  pengusaha kapal  dengan  seseorang  yang  mengikatkan  diri  untuk  bekerja  padanya, baik  nahkoda  atau  anak  kapal  dengan  menerima  upah  dan  perjanjian tersebut   harus   dibuat   atau   ditandatangani   dihadapan   pejabat   yang ditunjuk  pemerintah  serta  pembuatannya  harus  pula  menjadi  tanggung jawab  perusahaan  pelayaran.  Maksud  dari  perjanjian  kerja  dibuat  di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah (Administratur pelabuhan)   adalah   agar   pembuatan   akta   perjanjian   tersebut   harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak atau tanpa adanya paksaan dan  dalam  perjanjian  tidak  terdapat  hal-hal  yang  bertentangan  dengan undang-undang  atau  peraturan  yang  berlaku.  Dengan  demikian  dalam pelaksanaannya  administratur  pelabuhan harus memberitahu yang seterang-terangnya.
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau perwira kapal harus dibuat secara tertulis, supaya dianggap sah  (berlaku)  dan  ditandatangani  oleh  kedua  belah  pihak  (  Pasal  399 )
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ).
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan anak  kapal  harus  dibuat  dihadapan  anak  kapal,  dihadapan  syahbandar atau  pegawai  yang  berwajib  dan  ditandatangani  olehnya,  pengusaha kapal  dan  anak  buah  kapal  tersebut  (Pasal  400  Kitab  Undang-Undang Hukum Dagang).
Di samping syarat tertulis perjanjian kerja laut harus memenuhi pula  ketentuan  yang  diatur  dalam  pasal  1320  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain:
1). Adanya kesepakatan atau kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak.
2). Masing-masing mempunyai kecakapan untuk bertindak.
3). Persetujuan mengenai atau mengandung  suatu hak tertentu.
4).  Isi  perjanjian  tidak  boleh  bertentangan  dengan  peraturan perundang-undangan.

Bentuk Perjanjian Kerja laut
Perjanjian kerja laut dapat dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja
(Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang):
·         Perjanjian  kerja  laut  yang  diselenggarakan  untuk  waktu tertentu  atau  perjanjian  kerja  laut  periode,  misal:  untuk  2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun, dan lain- lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara tegas  menegenai  lamanya  waktu  untuk  saling  mengikatkan diri,   dimana   masing-masing   pihak   mempunyai   hak   dan kewajiban.
·         Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tidak tertentu..  Dalam perjanjian  ini  hubungan  kerja  berlaku  terus sampai  ada  pengakhiran  oleh  para  pihak  atau  sebaliknya hubungan  kerja  berakhir  dalam  waktu  dekat  (besok),  besok lusa  dan  sebagainya  jika  memang  salah  satu  pihak  ataupun para pihak menghendakinya.
·         Perjanjian  kerja  laut  yang  diselenggarakan  untuk  satu  atau beberapa  perjalanan  atau  trip  adalah  perjanjian  kerja  laut yang  diselenggarakan  berdasarkan  pelayaran  yang  diadakan perusahaan pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Kemudian jika ditinjau dari sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang, yaitu  menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
·         Perjanjian kerja laut untuk nahkoda
·         Perjanjian kerja laut untuk anak buah kapal.
Dilihat  dari  pihak  yang  mengikatkan  diri,  perjanjian  kerja  laut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
·         Perjanjian   kerja   laut   pribadi   atau   perseorangan,   yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran.
·          Perjanjian kerja laut kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat     antara               perusahaan                    pelayaran     atau     gabungan perusahaan  pelayaran  dengan  gabungan  tenaga  kerja  (anak buah   kapal),   dengan   syarat   masing-masing   pihak   harus berbentuk badan hukum.
Isi Perjanjian kerja laut
Isi  dari  Perjanjian  kerja  laut  (Pasal  401  Kitab  Undang-undang
Hukum Dagang) antara lain:
v  Nama  lengkap,  tanggal  lahir  dan  tempat  kelahiran  dari  anak kapal.
v  Tempat dan tanggal dilakukan perjanjian. c.  Dikapal mana ia akan bekerja
v  Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh.
v  Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga kerja di kapal, baik sebagai nahkoda atau anak buah kapal.
v  f.      Pernyataan   yang   berisi:   apakah   tenaga   kerja   tersebut mengikatkan diri untuk tugas-tugas lain selain tugas di kapal.
v  g.   Nama   syahbandar   yang   menyaksikan   atau   mengesahkan perjanjian kerja laut itu.
v  h.  Gaji atau upah dan jaminan-jaminan lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh Undang-undang.
v  Saat perjanjian kerja laut itu dimulai.
v  j.    Pernyataan yang berisi: Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan hari libur atau cuti .
v  k.      Tanda   tangan   tenaga   kerja,   pengusaha   pelayaran   dan syahbandar
·         a).  Tanggal ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
·         b).     Perihal pengakhiran hubungan kerja.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai penerapan Hukum Pelayaran dalam Perjanjian Kerja Laut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kita mengetahui Siapa saja pihak – pihak yang terlibat dalam Pelayaran dan apa Hak serta Kewajiban anak buah kapal?
2.      Kita mengetahui pengertian, syarat, bentuk dan isi dari Perjanjian Kerja Laut ( PKL )

1.2. Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian, saran yang perlu dikemukakan

adalah sebagai berikut:

1.      Pihak   tenaga   kerja   dikapal   atau   anak   buah   kapal   (ABK) seharusnya   semakin   menumbuhkan   kesadaran   hukum  yang tinggi   pada   diri   sendiri   sehingga   pelanggaran-pelanggaran diatas   kapal   tidak   akan   terjadi.   Dengan   adanya   kesadaran hukum yang tinggi maka kinerja tenaga kerja tidak terganggu sehingga dapat terwujud situasi kerja yang saling menghormati, menghargai  antara  pihak  perusahaan  dan  pihak  tenaga  kerja atau anak buah kapal (ABK).
2.      Pihak Perusahaan, seharusnya pihak perusahaan lebih meningkatkan  kesejahteraan  tenaga  kerja  dikapal  atau  anak buah  kapal  (ABK)  dan  keluarganya.  Salah  satunya  dengan mengingat   resiko   bahaya   dalam   berlayar   dan   jauh   dari keluarga.  Dan  harusnya  pihak  perusahaan  lebih  menaikkan upah kerja. Walaupun PT.PELNI  merupakan BUMN harusnya upah tidak disamakan dengan Pegawai Negeri biasa.
3.      Pihak Pemerintah, hendaknya dapat merespon dan  lebih memperhatikan   nasib   para   tenaga   kerja   baik   yang   didarat maupun   yang   dilaut.   Dan   lebih   aktif   untuk   mengadakan pengawasan  agar  tenaga  kerja  dapat  memperoleh  hak  mereka sesuai dengan sifat pekerjaan yang mereka lakukan. Dan lebih memperhatikan  terhadap  segala  permasalahan  yang  dialami oleh  Perusahaan  yang  bergerak  dibidang  jasa  transportasi  laut maupun darat.

Artikel SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban

Perusahaan Pelayaran


Perusahaan Pelayaran

Pengertian   Perusahaan   Perkapalan   terdapat   dalam   pasal   323 sampai 340f KUHD, ada 24 buah pasal. Perusahaan Pelayaran (Rederij) adalah suatu badan      yang menjalankan perusahaan dengan cara mengoperasikan  kapal  atau  usaha  lain  yang  erat hubungannya  dengan kapal.


1). Syarat Perusahaan Pelayaran

Dalam  Pasal  15  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  tahun  1969 tentang  Perhubungan  laut  yang  berisi  ketentuan  mengenai  perusahaan pelayaran harus memenuhi syarat-syarat:
  merupakan perusahaan pelayaran milik negara.
merupakan  perusahaan  milik  pemerintah  daerah  sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas.
.   memiliki  satuan-satuan  kapal  lebih  dari  satu  unit  dengan jumlah  minimal  3.000  m3  isi  kotor  dengan  memperhatikan syarat-syarat teknis/nautus perhitungan untung rugi.
  tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha
.   melaksanakan kebijaksanaan angkutan laut nusantara
Bila  persyaratan  sebagaimana  tersebut  diatas  sudah  dipenuhi, maka perusahaan pelayaran dikenai kewajiban-kewajiban antara lain:
melaksanakan   ketentuan   yang   ditetapkan   dalam   surat perjanjian.
 mengumumkan kepada umum mengenai peraturan perjanjian kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan.
menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan, dan pos satu dan yang lain sesuai dengan persyaratan teknis kapal.
memberikan  prioritas  kepada  pengangkutan  barang-barang sandang pangan lain sesuai dengan persyaratan teknis bahan- bahan industri dan eksport.
 memberitahukan  kepada  pejabat  yang  ditunjuk  oleh  menteri Perhubungan, tarif pengangkutan  yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan Conference atau bentuk kerjasama lainnya. Dan lain-lain.


2). Jenis-jenis Pelayaran

Menurut  Pasal  5  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun  1969, jenis-jenis pelayaran dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
(1).   Pelayaran dalam negeri
a.     Pelayaran  nusantara,  yaitu  pelayaran  antar  pulau  antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan.
b. Pelayaran lokal atau pelayaran jurusan tetap, yaitu bertugas menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri, dengan menggunakan kapal-kapal di bawah tonase
175 BRT.
c.      Pelayaran   rakyat,   yaitu   pelayaran   nusantara   dengan menggunakan perahu layar tradisional
d. Pelayaran penundaan laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan  tongkang-tongkang  yang  ditarik  oleh  kapal- kapal tunda (tugboat).
(2).   Pelayaran luar negeri
a.    Pelayaran  samudra  dekat,  yaitu  pelayaran  ke  pelabuhan- pelabuhan  negara  tetangga  yang  tidak  lebih  dari  3000  mil laut  dari  pelabuhan  terluar  Indonesia  (tanpa  memandang jurusan).
b. Pelayaran samudra, yaitu pelayaran dari dan ke luar negeri yang bukan pelayaran samudra dekat.
(3).   Pelayaran  khusus,  yaitu  merupakan  pelayaran  dalam  dan  luar negeri  dengan  menggunakan  kapal-kapal  pengangkut  khusus untuk  pengangkutan  hasil  industri,  pertambangan  dan  hasil- hasil  usaha  lainnya  yang  bersifat  khusus.  Misalnya:  minyak bumi, batu bara.


Nahkoda
Ketentuan Pasal 341 dan Pasal 377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah Pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga kerja yang telah menandatangani   perjanjian   kerja   laut   dengan   perusahaan   pelayaran sebagai nahkoda, yang memenuhi syarat dan tercantum dalam sijil anak buah       kapal       sebagai     nahkoda             ditandatangani     dengan         mutasi  dari perusahaan   dan   pencantuman   namanya   dalam   surat   laut.   (Djoko Triyanto,   2005:32).   Dalam   menjalankan   tugasnya   sehari-hari   diatas kapal mempunyai jabatan penting:


1). Nahkoda sebagai Pemimpin kapal
Tugasnya selaku pemimpin kapal, mengandung arti nahkoda merupakan  pemimpin  tertinggi  dalam  mengelola,  melayarkan  dan mengarahkan kapal tersebut. Demikian pula, setiap anak buah kapal akan  turun  ke  darat  bila  kapal  sedang  berlabuh,  maka  ia  harus meminta  ijin  lebih  dahulu  kepada  nahkoda,  dan  jika  ijin  tersebut ditolaknya,  maka  nahkoda  harus  menulis  dalam  buku  harian  kapal dengan  alasan  yang  cukup  sebagaimana  ditentukan  pada  pasal  385 KUHD.  Selain  itu  nahkoda  harus  melayarkan  kapalnya  dari  suatu tempat  ke  tempat  lain  dengan  aman,  tepat  waktu,  praktis,  dan selamat.

2). Nahkoda sebagai pemegang kewibawaan umum
·         kewibawaan  terhadap  semua  pelayar,  artinya  :  semua orang  yang  berada  di  kapal,  wajib  menuruti  perintah- perintah   nahkoda   guna   kepentingan   keselamatan   atau ketertiban umum.
·         kewibawaan  disiplin  terhadap  anak  buah  kapal,  artinya  :
para awak kapal berada dibawah perintah nahkoda.

3). Nahkoda sebagai jaksa atau abdi hukum.
Di  tengah  laut  nahkoda  wajib  menyelidiki  atau  mengusut kejahatan yang terjadi di dalam kapalnya :
·         mengumpulkan  bahan-bahan  mengenai  peristiwa  yang terjadi.
·         menyita barang-barang yang dipakai dalam peristiwa itu
·         mendengar  para  tertuduh  dan  saksi  dan  membuat  berita acara keterangannya.
·          mengambil     tindakan    terhadap     tertuduh,    menurut kebutuhan.       Misal:  mengasingkannya  ( menutup )  di dalam kamar tutupan.
·         menyerahkan   tertuduh   dengan   bahan-bahannya   kepada Pengadilan negeri di pelabuhan pertama yang disinggahi. Nahkoda wajib pula mencatat peristiwanya dan tindakan- tindakan yang telah diambilnya di dalam daftar hukuman.

4). Nahkoda sebagai pegawai catatan sipil
Apabila  selama  dalam  pelayaran  ada  seseorang  anak  lahir atau seseorang meninggal di kapal, nahkoda harus membuatkan akta- akta pencatatan sipil yang bersangkutan di dalam buku harian kapal.
a.  Pada kelahiran
Apabila ada seorang anak lahir, nahkoda harus membuat akta kelahiran di dalam buku harian kapal, dalam waktu 24 jam, dengan dihadiri oleh si ayah dan dua orang saksi. b.  Pada Kematian Apabila ada seorang meninggal dunia di kapal, nahkoda harus  membuat  akta  kematian  juga  dalam waktu  24  jam dengan  dihadiri  pula  oleh  dua  orang  saksi.  Sebab-sebab kematian   tidak   boleh  disebut  dalam   akta   itu,   tetapi nahkoda  wajib  mencatat  di  dalam  buku  hariannya.  Jika ada  seseorang yang  jatuh  di  laut  maka  nahkoda  tidak selalu   membuat   akta   kematian,   berhubungan  dengan kemungkinan  si  korban  akan  mencapai  kapal  lain  atau daratan.  Dalam  hal  sebaliknya, nahkoda  harus  membuat akta tersebut serta menyebutkannya dengan jelas di dalam buku  harian  kapal,  mengenai  tempat  dimana  kecelakaan itu  terjadi,  keadaan  cuaca,  berapa  lama  telah  dicari,  ada kapal lain di dekatnya, dan sebagainya.

5). Nahkoda sebagai notaris
Dalam pasal 947, 950 dan 952 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa, bilamana nahkoda dapat bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat wasiat seseorang di atas kapal. Surat warisan itu kemudian ditandatangani oleh pewaris yang ada, nahkoda dan dua orang saksi. Pembuatan  surat  wasiat  tersebut  didasarkan  atas  keadaan yang   tidak   dimungkinkan   si   pewaris   menemui   pejabat   yang berwenang.Surat  wasiat  hanyalah  berlaku  sementara  waktu  saja,  sebab apabila  si  pewaris  itu  meninggal  dunia  lebih  dari  6  bulan  setelah pembuatan surat wasiat itu, maka surat itu tidak berlaku lagi.

Pengusaha Kapal
Pengusaha  kapal  (Reder)  adalah  seseorang  yang  mengusahakan kapal  untuk  pelayaran  di  laut  dengan  melakukan  sendiri  pelayaran  itu, ataupun  menyuruh  melakukannya  oleh  seorang  nahkoda  yang  bekerja padanya.   (Pasal   320   Kitab   Undang-undang   Hukum   Dagang).   Pada lazimnya  seorang  pengusaha  dalam  menjalankan  usahanya  mempunyai tujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnnya dengan biaya dan  tenaga  atau  modal  yang  sekecil-kecilnya.  Dalam  praktik  sering terjadi pemilik kapal menyewakan kapalnya pada orang lain yang akan bertindak sebagai pengusaha kapal, atau dapat juga menjalankan sendiri kapalnya dan ia bertindak sebagai nahkoda.

Awak kapal atau anak buah kapal
Anak buah kapal adalah semua orang yang berada dan bekerja di kapal  kecuali  nahkoda,  baik  sebagai  perwira  ,  bawahan  (kelasi)  atau supercargo   yang   tercantum  dalam   sijil   anak   buah   kapal   dan   telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran.
Adapun  syarat-syarat  wajib  yang  harus  dipenuhi  untuk  dapat bekerja  sebagai  anak  buah  kapal  sesuai  dengan  Pasal  17  Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, antara lain:
·          memiliki   sertifikat   keahlian   pelaut   dan/   atau   sertifikat keterampilan  pelaut.
·         berumur sekurang-kurangnya 18 tahun
·          sehat  jasmani  dan  rohani  berdasarkan  hasil  pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu.
·   

Hak dan Kewajiban Anak Buah Kapal

Ø  Hak – hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama, walaupun ada perbedaan sedikit namun tidak begitu berarti. Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.7 tahun
2000 tentang Kepelautan antara lain:

1). Hak atas Upah
Besarnya  upah  yang  diperoleh  anak  buah  kapal  didasarkan atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang    Nomor  13  tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang  Kepelautan,  dan  tidak  bertentangan  dengan  Peraturan  gaji pelaut. Berdasarkan  Pasal  21  ayat  (1),  (2),  PP  No.7  tahun  2000, Upah tersebut didasarkan atas:
·         8 jam kerja setiap hari b. 44 jam perminggu
·         Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam d. Libur sehari setiap minggu
·         Ditambah hari–hari libur resmi
Ketentuan  di  atas  tidak  berlaku  bagi  pelaut  muda,  artinya mereka berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun tidak boleh bekerja melebihi  8  jam  sehari  dan  40  jam  seminggu  serta  tidak  boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah yang  dimaksud  tidak  termasuk  tunjangan  atas  upah  lembur  atau premi  sebagaimana  diatur  dalam  Pasal:  402,  409,  dan  415  Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit  adalah  yang  sesuai  dengan  yang  tertuang  dalam  perjanjian kerja  laut,  kecuali  upah  yang  dipotong  untuk  hal-hal  yang  sudah disetujui  oleh  anak  buah  kapal  tersebut  atau  pemotongan  yang didasarkan   pada    hukum   yang    berlaku.    Pengaturan   mengenai pemotongan  tersebut  menurut  Pasal  1602r  Kitab  Undang–undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut:
·         Ganti rugi yang harus dibayar
·         Denda–denda yang harus dibayar kepada perusahaan yang harus  diberi  tanda  terima  oleh  perusahaan  (Pasal  1601s KUHPerdata)
·         Iuran  untuk  dana  (Pasal  1601s  Kitab  Undang–Undang
·         Hukum Perdata).
·         Sewa rumah atau lain–lain yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinas.
·         Uang Muka (Persekot) atas upah yang telah diterimanya.
·         Harga pembelian barang–barang yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinasnya.
·         Kelebihan pembayaran upah-upah yang lalu.
·         Biaya  pengobatan  yang  harus  dibayar  oleh  anak  buah kapal (Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
·         Istri atau anggota keluarga lainnya sampai dengan keempat dengan  jumlah  maksimum  2/3  dari  upah  (Pasal  444-445
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Selain,    Pemotongan-pemotongan    tersebut    diatas,    maka besarnya  upah  anak  buah  kapal  juga  dapat  berkurang  disebabkan, antara lain:
·         Denda  oleh  nahkoda  sesuai  dengan  peraturan  perundang- undangan.
·         Pengurangan  upah  karena  sakit  yang  sampai  membuat anak buah kapal tidak dapat bekerja
·         Perjalanan pelayaran terputus.
·         Ikatan kerja terputus karena alasan–alasan yang sah.

Selain  itu  juga  harus  diperhatikan  bahwa  upah  anak  buah kapal dapat bertambah besarnya karena:
·         Pengganti  libur  yang  seharusnya  dinikmati  anak  buah kapal,  akan  tetapi  tidak  diambilnya  (Pasal  409  dan  415
·         KUH Dagang) atau atas permintaan pengusaha angkutan perairan  paling  sedikit  20  hari  kalender  untuk  setiap jangka waktu 1 tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah   sejumlah   cuti   yang   tidak   dinikmati   (Pasal   24
·         Peraturan Pemerintah)
·         Pembayaran  waktu  tambahan  pelayaran,  jika  perjanjian kerja laut untuk suatu pelayaran karena suatu kerusakan, sehingga  terpaksa  berhenti  di  pelabuhan  darurat  (Pasal
·         423 KUH Dagang)
·         Pembayaran  kerja  lembur,  yaitu  jam  kerja  melebihi  jam kerja  wajib.  Khusus  untuk  upah  lembur  hari  minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa.
·         Menurut  Pasal  22  Peraturan  Pemerintah  No.7  tentang Kepelautan, Perhitungan upah lembur sebagai berikut: Rumus =  Upah minimum  x 1,25
·         190
·         d.   Pembayaran    istimewa,    karena    mengangkut    muatan berbahaya,   menunda   menyelamatkan   kapal   lain   atau mengangkut   muatan   di   daerah   yang   sedang   perang, kecuali  untuk  tugas  negara  (Pasal  452f  Kitab  Undang- undang Hukum Dagang)
·         Mengemban  tugas  yang  lebih  tinggi  yang  tidak  bersifat insidentil,  seperti  Mualim  II  (Pasal  443  Kitab  Undang- undang Hukum Dagang).
·         Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.
·         Kelambatan  pembayaran  upah  dari  waktu  biasa  (Pasal
1801/ dan 1602n Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan pelayaran (Pasal 1602q Kitab Undang–undang Hukum Perdata dan
Pasal 452c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
Tidak  diberikan  makanan  sebagaimana  ditetapkan  yang menjadi hak anak buah kapal ( Pasal 436 dan 437 Kitab Undang–undang Hukum Dagang)

2).  Hak atas tempat tinggal dan makan
Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 Kitab Undang-undang Hukum Dagang   dan   Pasal   13   Schepelingen   Ongevalien   (S.O)   1935. Berdasarkan  ketentuan  pasal  tersebut,  anak  buah  kapal  berhak  atas tempat  tinggal  yang  baik  dan  layak  serta  berhak  atas  makan  yang pantas  yaitu  cukup  untuk  dan  dihidangkan  dengan  baik  dan  menu yang  cukup  bervariasi  setiap  hari.  Ketentuan  ini  dipertegas  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal25, yaitu:
·         pengusaha  atau  perusahaan  angkutan  di  perairan  wajib menyediakan makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap anak buah kapal.
·          makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah  minimum  3.600  kalori  perhari  yang  diperlukan anak   buah   kapal   agar   tetap   sehat   dalam   melakukan tugasnya.
·         air  tawar  harus  tetap  tersedia  di  kapal  dengan  cukup  dan memenuhi standar kesehatan.
Apabila  ketentuan  diatas  dilanggar  maka  dapat  dikatakan sebagai   pelanggaran   hukum,   dimana   anak   buah   kapal   dapat melakukan pemaksaan terhadap perusahaan pelayaran  untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.

3). Hak Cuti
Ketentuan yang mengatur hak cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan pada umumnya. Pasal 409 KUH Dagang menyebutkan:
“  Bilamana  nahkoda  atau  perwira kapal telah bekerja selama setahun  berturut-turut  /  terus  menerus,  maka  mereka  berhak atas  cuti  selama  14  hari  atau  bila  dikehendaki  pengusaha pelayaran  bisa  dilakukan  dua  kali,  masing-masing  delapan hari. Ini dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda” Hak  cuti  ini  gugur  bila  diajukan  sebelum  satu  tahun  masa kerjanya  berakhir.  Dan  hak  ini  berlaku  untuk  perjanjian  kerja  laut yang didasarkan atas pelayaran.
Pasal 415 KUH Dagang menyebutkan:
“Bilamana  anak  buah  kapal  telah  bekerja  selama  setahun terus   menerus   sedangkan   perjanjian   kerja   lautnya   bukan perjanjian kerja laut pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”. 4). Hak waktu sakit atau kecelakaan
Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain meliputi:
(1). Sakit Biasa
Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a.   Pengobatan  sampai  sembuh,  akan  tetapi  paling  lama  52 minggu bilamana diturunkan dalam kapal, demikian juga bila   dia   tetap   berada   di   kapal   berhak   mendapatkan pengobatan sampai sembuh (Pasal 416 KUH Dagang)
b. Pengangkutan cuma-cuma kerumah sakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan ke tempat ditandatanganinya perjanjian kerja laut (Pasal 416 KUH Dagang)
Selama anak buah kapal sakit atau kecelakaan ia berhak atas upah  sebesar  80%  dengan  syarat  tidak  lebih  dari  28  minggu  (Pasal
416a   KUH   Dagang),   dan   jaminan   diperoleh   disamping   biaya perawatan sampai sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah  kapal  mengadakan  perjanjian  kerja  laut  untuk  waktu  paling sedikit  satu  tahun  atau  bekerja  terus  menerus  selama  paling  sedikit satu setengah tahun.
Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b Kitab Undang-undang hukum dagang menentukan bahwa jika anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya mendapat perawatan  sampai  sembuh,  dan  upah  yang  diterima  diperhitungkan dengan interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua puluh enam) minggu.
Jaminan–jaminan  dalam  hal  perawatan  dapat  ditolak  oleh perusahaan pelayaran, apabila:
·         Anak buah kapal menolak menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri ke dokter.
·          Anak  buah kapal tidak menggunakan  kesempatan pengobatan
Menurut ketentuan Pasal 416f Kitab undang-undang Hukum Dagang,  tunjangan  atau  upah  dapat  tidak  dibayar  oleh  perusahaan pelayaran  atau  dikurangi  jumlahnya  bila  sakitnya  atau  kecelakaan yang terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau akibat kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.
(2). Sakit karena kecelakaan
Berdasarkan Pasal 1602 KUHPerdata, Anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak atas:
·         Tuntutan   ganti   rugi   bila   terbukti   kecelakaan   tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan pelayaran
·         Jika kecelakaan    menimpa  anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
·          Penggantian  akibat  kecelakaan  ditambah  dengan  hak-hak atas perawatan.
(3). Kapal tenggelam
Pada             umumnya     hampir semua kapal          yang           beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan pada P & I Club   (Protection   and   Indernity   Club).   Jaminan   yang   diberikan kepada  anak  buah  kapal  disesuaikan  dengan  peraturan  perundang– undangan  negara  mengenai  Anak  Buah  Kapal  yang  bersangkutan. Jadi       jika      kapal          tenggelam      tidak  akan   memberatkan  pihak perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g Kitab Undang-undang Hukum Dagang,  bahwa  perusahaan  wajib  memberikan  ganti  rugi  kepada anak buah kapal berupa:
·         Jumlah  upah  sampai  dia  tiba  kembali  di  tempat  dimana perjanjian kerja laut ditandatangani.
·         Jumlah  upah  selama  anak  buah  kapal  tersebut  belum bekerja paling lama 2 (dua) bulan.
·         Ganti  rugi  akibat  kelalaian  perusahaan  pelayaran  berupa barang  milik  anak  buah  kapal  dan  kerugian  lain  (  Pasal
·         1602w Kitab undang–undang hukum Perdata).
·          Bila  anak  buah  kapal  meninggal  dunia,  maka  perusahaan pelayaran  berkewajiban  menanggung  biaya  penguburan atau   pembuangan   jenazah   ke   laut   (Pasal   440   Kitab Undang-undang Hukum Dagang)

Kewajiban Anak Buah kapal
·          Bekerja  sekuat  tenaga,  wajib  mengerjakan  segala  sesuatu  yang diperintah oleh nahkoda.
·          Tidak  boleh  membawa  atau  memiliki  minuman  keras,  membawa barang  terlarang,  senjata  di  kapal  tanpa  izin  nahkoda  (  Pasal  391 )
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Keluar  dari  kapal  selalu  dengan  ijin  nahkoda  dan  pulang  kembali tidak terlambat (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Wajib   membantu   memberikan   pertolongan   dalam   penyelamatan kapal  dan  muatan  dengan  menerima  upah  tambahan  (Pasal  452/c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
·         Menyediakan   diri   untuk   nahkoda   selama   3   hari   setelah   habis kontraknya,  untuk  kepentingan  membuat  kisah  kapal  (Pasal  452/b Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
·         Taat   kepada   atasan,   teristemewa   menjalankan   perintah-perintah nahkoda (Pasal 384 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

Perjanjian Kerja Laut
Perjanjian  kerja  laut  terdapat  dalam  Pasal  395  Kitab  Undang- undang  Hukum  Dagang  pada  title  ke  empat  Bagian  pertama.  Jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka akan tampak bahwa  perjanjian  kerja  laut  merupakan  perjanjian  perburuhan  yang bersifat  khusus.  Pasal  1601a  Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata menyebutkan   :   “Persetujuan   perburuhan   adalah   persetujuan   dengan mana  pihak  yang  satu,  si  buruh  mengikatkan  dirinya  untuk  di  bawah perintahnya  pihak  yang  lain,  si  majikan  untuk  sesuatu  waktu  tertentu melakukan  pekerjaan  dengan  menerima  upah”.  Sedangkan,  Pengertian Perjanjian kerja laut juga diatur dalam Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan:
“    Perjanjian  kerja  laut  adalah  perjanjian  yang  dibuat  antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk bertindak   di   bawah   pengusaha   itu   melakukan   pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak kapal.”
Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
2000 tentang Kepelautan, hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu         perjanjian kerja laut  adalah perjanjian    kerja perseorangan    yang    ditandatangani  oleh pelaut  Indonesia    dengan pengusaha angkutan di perairan.
         Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai Perjanjian  kerja  yang  dibuat  antara  seorang  majikan  atau  pengusaha kapal  dengan  seseorang  yang  mengikatkan  diri  untuk  bekerja  padanya, baik  nahkoda  atau  anak  kapal  dengan  menerima  upah  dan  perjanjian tersebut   harus   dibuat   atau   ditandatangani   dihadapan   pejabat   yang ditunjuk  pemerintah  serta  pembuatannya  harus  pula  menjadi  tanggung jawab  perusahaan  pelayaran.  Maksud  dari  perjanjian  kerja  dibuat  di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah (Administratur pelabuhan)   adalah   agar   pembuatan   akta   perjanjian   tersebut   harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak atau tanpa adanya paksaan dan  dalam  perjanjian  tidak  terdapat  hal-hal  yang  bertentangan  dengan undang-undang  atau  peraturan  yang  berlaku.  Dengan  demikian  dalam pelaksanaannya  administratur  pelabuhan harus memberitahu yang seterang-terangnya.
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau perwira kapal harus dibuat secara tertulis, supaya dianggap sah  (berlaku)  dan  ditandatangani  oleh  kedua  belah  pihak  (  Pasal  399 )
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ).
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan anak  kapal  harus  dibuat  dihadapan  anak  kapal,  dihadapan  syahbandar atau  pegawai  yang  berwajib  dan  ditandatangani  olehnya,  pengusaha kapal  dan  anak  buah  kapal  tersebut  (Pasal  400  Kitab  Undang-Undang Hukum Dagang).
Di samping syarat tertulis perjanjian kerja laut harus memenuhi pula  ketentuan  yang  diatur  dalam  pasal  1320  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain:
1). Adanya kesepakatan atau kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak.
2). Masing-masing mempunyai kecakapan untuk bertindak.
3). Persetujuan mengenai atau mengandung  suatu hak tertentu.
4).  Isi  perjanjian  tidak  boleh  bertentangan  dengan  peraturan perundang-undangan.

Bentuk Perjanjian Kerja laut
Perjanjian kerja laut dapat dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja
(Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang):
·         Perjanjian  kerja  laut  yang  diselenggarakan  untuk  waktu tertentu  atau  perjanjian  kerja  laut  periode,  misal:  untuk  2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun, dan lain- lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara tegas  menegenai  lamanya  waktu  untuk  saling  mengikatkan diri,   dimana   masing-masing   pihak   mempunyai   hak   dan kewajiban.
·         Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tidak tertentu..  Dalam perjanjian  ini  hubungan  kerja  berlaku  terus sampai  ada  pengakhiran  oleh  para  pihak  atau  sebaliknya hubungan  kerja  berakhir  dalam  waktu  dekat  (besok),  besok lusa  dan  sebagainya  jika  memang  salah  satu  pihak  ataupun para pihak menghendakinya.
·         Perjanjian  kerja  laut  yang  diselenggarakan  untuk  satu  atau beberapa  perjalanan  atau  trip  adalah  perjanjian  kerja  laut yang  diselenggarakan  berdasarkan  pelayaran  yang  diadakan perusahaan pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Kemudian jika ditinjau dari sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang, yaitu  menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
·         Perjanjian kerja laut untuk nahkoda
·         Perjanjian kerja laut untuk anak buah kapal.
Dilihat  dari  pihak  yang  mengikatkan  diri,  perjanjian  kerja  laut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
·         Perjanjian   kerja   laut   pribadi   atau   perseorangan,   yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran.
·          Perjanjian kerja laut kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat     antara               perusahaan                    pelayaran     atau     gabungan perusahaan  pelayaran  dengan  gabungan  tenaga  kerja  (anak buah   kapal),   dengan   syarat   masing-masing   pihak   harus berbentuk badan hukum.
Isi Perjanjian kerja laut
Isi  dari  Perjanjian  kerja  laut  (Pasal  401  Kitab  Undang-undang
Hukum Dagang) antara lain:
v  Nama  lengkap,  tanggal  lahir  dan  tempat  kelahiran  dari  anak kapal.
v  Tempat dan tanggal dilakukan perjanjian. c.  Dikapal mana ia akan bekerja
v  Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh.
v  Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga kerja di kapal, baik sebagai nahkoda atau anak buah kapal.
v  f.      Pernyataan   yang   berisi:   apakah   tenaga   kerja   tersebut mengikatkan diri untuk tugas-tugas lain selain tugas di kapal.
v  g.   Nama   syahbandar   yang   menyaksikan   atau   mengesahkan perjanjian kerja laut itu.
v  h.  Gaji atau upah dan jaminan-jaminan lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh Undang-undang.
v  Saat perjanjian kerja laut itu dimulai.
v  j.    Pernyataan yang berisi: Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan hari libur atau cuti .
v  k.      Tanda   tangan   tenaga   kerja,   pengusaha   pelayaran   dan syahbandar
·         a).  Tanggal ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
·         b).     Perihal pengakhiran hubungan kerja.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai penerapan Hukum Pelayaran dalam Perjanjian Kerja Laut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kita mengetahui Siapa saja pihak – pihak yang terlibat dalam Pelayaran dan apa Hak serta Kewajiban anak buah kapal?
2.      Kita mengetahui pengertian, syarat, bentuk dan isi dari Perjanjian Kerja Laut ( PKL )

1.2. Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian, saran yang perlu dikemukakan

adalah sebagai berikut:

1.      Pihak   tenaga   kerja   dikapal   atau   anak   buah   kapal   (ABK) seharusnya   semakin   menumbuhkan   kesadaran   hukum  yang tinggi   pada   diri   sendiri   sehingga   pelanggaran-pelanggaran diatas   kapal   tidak   akan   terjadi.   Dengan   adanya   kesadaran hukum yang tinggi maka kinerja tenaga kerja tidak terganggu sehingga dapat terwujud situasi kerja yang saling menghormati, menghargai  antara  pihak  perusahaan  dan  pihak  tenaga  kerja atau anak buah kapal (ABK).
2.      Pihak Perusahaan, seharusnya pihak perusahaan lebih meningkatkan  kesejahteraan  tenaga  kerja  dikapal  atau  anak buah  kapal  (ABK)  dan  keluarganya.  Salah  satunya  dengan mengingat   resiko   bahaya   dalam   berlayar   dan   jauh   dari keluarga.  Dan  harusnya  pihak  perusahaan  lebih  menaikkan upah kerja. Walaupun PT.PELNI  merupakan BUMN harusnya upah tidak disamakan dengan Pegawai Negeri biasa.
3.      Pihak Pemerintah, hendaknya dapat merespon dan  lebih memperhatikan   nasib   para   tenaga   kerja   baik   yang   didarat maupun   yang   dilaut.   Dan   lebih   aktif   untuk   mengadakan pengawasan  agar  tenaga  kerja  dapat  memperoleh  hak  mereka sesuai dengan sifat pekerjaan yang mereka lakukan. Dan lebih memperhatikan  terhadap  segala  permasalahan  yang  dialami oleh  Perusahaan  yang  bergerak  dibidang  jasa  transportasi  laut maupun darat.

Artikel SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban

1 komentar:

Terimakasih telah berkunjung di Website Resmi SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban