Perusahaan Pelayaran
Pengertian Perusahaan Perkapalan terdapat dalam pasal 323 sampai 340f KUHD, ada 24 buah pasal. Perusahaan Pelayaran (Rederij) adalah suatu badan yang menjalankan perusahaan dengan cara mengoperasikan kapal atau usaha lain yang erat hubungannya dengan kapal.
1). Syarat Perusahaan Pelayaran
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1969 tentang Perhubungan laut yang berisi ketentuan mengenai perusahaan pelayaran harus memenuhi syarat-syarat:
merupakan perusahaan pelayaran milik negara.
merupakan perusahaan milik pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas.
. memiliki satuan-satuan kapal lebih dari satu unit dengan jumlah minimal 3.000 m3 isi kotor dengan memperhatikan syarat-syarat teknis/nautus perhitungan untung rugi.
tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha
. melaksanakan kebijaksanaan angkutan laut nusantara
Bila persyaratan sebagaimana tersebut diatas sudah dipenuhi, maka perusahaan pelayaran dikenai kewajiban-kewajiban antara lain:
melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam surat perjanjian.
mengumumkan kepada umum mengenai peraturan perjanjian kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan.
menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan, dan pos satu dan yang lain sesuai dengan persyaratan teknis kapal.
memberikan prioritas kepada pengangkutan barang-barang sandang pangan lain sesuai dengan persyaratan teknis bahan- bahan industri dan eksport.
memberitahukan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri Perhubungan, tarif pengangkutan yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan Conference atau bentuk kerjasama lainnya. Dan lain-lain.
2). Jenis-jenis Pelayaran
Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, jenis-jenis pelayaran dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
(1). Pelayaran dalam negeri
a. Pelayaran nusantara, yaitu pelayaran antar pulau antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan.
b. Pelayaran lokal atau pelayaran jurusan tetap, yaitu bertugas menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri, dengan menggunakan kapal-kapal di bawah tonase
175 BRT.
c. Pelayaran rakyat, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu layar tradisional
d. Pelayaran penundaan laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal- kapal tunda (tugboat).
(2). Pelayaran luar negeri
a. Pelayaran samudra dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan- pelabuhan negara tetangga yang tidak lebih dari 3000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia (tanpa memandang jurusan).
b. Pelayaran samudra, yaitu pelayaran dari dan ke luar negeri yang bukan pelayaran samudra dekat.
(3). Pelayaran khusus, yaitu merupakan pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil- hasil usaha lainnya yang bersifat khusus. Misalnya: minyak bumi, batu bara.
Nahkoda
Ketentuan Pasal 341 dan Pasal 377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah Pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga kerja yang telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran sebagai nahkoda, yang memenuhi syarat dan tercantum dalam sijil anak buah kapal sebagai nahkoda ditandatangani dengan mutasi dari perusahaan dan pencantuman namanya dalam surat laut. (Djoko Triyanto, 2005:32). Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diatas kapal mempunyai jabatan penting:
1). Nahkoda sebagai Pemimpin kapal
Tugasnya selaku pemimpin kapal, mengandung arti nahkoda merupakan pemimpin tertinggi dalam mengelola, melayarkan dan mengarahkan kapal tersebut. Demikian pula, setiap anak buah kapal akan turun ke darat bila kapal sedang berlabuh, maka ia harus meminta ijin lebih dahulu kepada nahkoda, dan jika ijin tersebut ditolaknya, maka nahkoda harus menulis dalam buku harian kapal dengan alasan yang cukup sebagaimana ditentukan pada pasal 385 KUHD. Selain itu nahkoda harus melayarkan kapalnya dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, tepat waktu, praktis, dan selamat.
2). Nahkoda sebagai pemegang kewibawaan umum
· kewibawaan terhadap semua pelayar, artinya : semua orang yang berada di kapal, wajib menuruti perintah- perintah nahkoda guna kepentingan keselamatan atau ketertiban umum.
· kewibawaan disiplin terhadap anak buah kapal, artinya :
para awak kapal berada dibawah perintah nahkoda.
3). Nahkoda sebagai jaksa atau abdi hukum.
Di tengah laut nahkoda wajib menyelidiki atau mengusut kejahatan yang terjadi di dalam kapalnya :
· mengumpulkan bahan-bahan mengenai peristiwa yang terjadi.
· menyita barang-barang yang dipakai dalam peristiwa itu
· mendengar para tertuduh dan saksi dan membuat berita acara keterangannya.
· mengambil tindakan terhadap tertuduh, menurut kebutuhan. Misal: mengasingkannya ( menutup ) di dalam kamar tutupan.
· menyerahkan tertuduh dengan bahan-bahannya kepada Pengadilan negeri di pelabuhan pertama yang disinggahi. Nahkoda wajib pula mencatat peristiwanya dan tindakan- tindakan yang telah diambilnya di dalam daftar hukuman.
4). Nahkoda sebagai pegawai catatan sipil
Apabila selama dalam pelayaran ada seseorang anak lahir atau seseorang meninggal di kapal, nahkoda harus membuatkan akta- akta pencatatan sipil yang bersangkutan di dalam buku harian kapal.
a. Pada kelahiran
Apabila ada seorang anak lahir, nahkoda harus membuat akta kelahiran di dalam buku harian kapal, dalam waktu 24 jam, dengan dihadiri oleh si ayah dan dua orang saksi. b. Pada Kematian Apabila ada seorang meninggal dunia di kapal, nahkoda harus membuat akta kematian juga dalam waktu 24 jam dengan dihadiri pula oleh dua orang saksi. Sebab-sebab kematian tidak boleh disebut dalam akta itu, tetapi nahkoda wajib mencatat di dalam buku hariannya. Jika ada seseorang yang jatuh di laut maka nahkoda tidak selalu membuat akta kematian, berhubungan dengan kemungkinan si korban akan mencapai kapal lain atau daratan. Dalam hal sebaliknya, nahkoda harus membuat akta tersebut serta menyebutkannya dengan jelas di dalam buku harian kapal, mengenai tempat dimana kecelakaan itu terjadi, keadaan cuaca, berapa lama telah dicari, ada kapal lain di dekatnya, dan sebagainya.
5). Nahkoda sebagai notaris
Dalam pasal 947, 950 dan 952 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa, bilamana nahkoda dapat bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat wasiat seseorang di atas kapal. Surat warisan itu kemudian ditandatangani oleh pewaris yang ada, nahkoda dan dua orang saksi. Pembuatan surat wasiat tersebut didasarkan atas keadaan yang tidak dimungkinkan si pewaris menemui pejabat yang berwenang.Surat wasiat hanyalah berlaku sementara waktu saja, sebab apabila si pewaris itu meninggal dunia lebih dari 6 bulan setelah pembuatan surat wasiat itu, maka surat itu tidak berlaku lagi.
Pengusaha Kapal
Pengusaha kapal (Reder) adalah seseorang yang mengusahakan kapal untuk pelayaran di laut dengan melakukan sendiri pelayaran itu, ataupun menyuruh melakukannya oleh seorang nahkoda yang bekerja padanya. (Pasal 320 Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Pada lazimnya seorang pengusaha dalam menjalankan usahanya mempunyai tujuan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnnya dengan biaya dan tenaga atau modal yang sekecil-kecilnya. Dalam praktik sering terjadi pemilik kapal menyewakan kapalnya pada orang lain yang akan bertindak sebagai pengusaha kapal, atau dapat juga menjalankan sendiri kapalnya dan ia bertindak sebagai nahkoda.
Awak kapal atau anak buah kapal
Anak buah kapal adalah semua orang yang berada dan bekerja di kapal kecuali nahkoda, baik sebagai perwira , bawahan (kelasi) atau supercargo yang tercantum dalam sijil anak buah kapal dan telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan perusahaan pelayaran.
Adapun syarat-syarat wajib yang harus dipenuhi untuk dapat bekerja sebagai anak buah kapal sesuai dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, antara lain:
· memiliki sertifikat keahlian pelaut dan/ atau sertifikat keterampilan pelaut.
· berumur sekurang-kurangnya 18 tahun
· sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu.
·
Hak dan Kewajiban Anak Buah Kapal
Ø Hak – hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama, walaupun ada perbedaan sedikit namun tidak begitu berarti. Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.7 tahun
2000 tentang Kepelautan antara lain:
1). Hak atas Upah
Besarnya upah yang diperoleh anak buah kapal didasarkan atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, dan tidak bertentangan dengan Peraturan gaji pelaut. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7 tahun 2000, Upah tersebut didasarkan atas:
· 8 jam kerja setiap hari b. 44 jam perminggu
· Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam d. Libur sehari setiap minggu
· Ditambah hari–hari libur resmi
Ketentuan di atas tidak berlaku bagi pelaut muda, artinya mereka berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun tidak boleh bekerja melebihi 8 jam sehari dan 40 jam seminggu serta tidak boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah yang dimaksud tidak termasuk tunjangan atas upah lembur atau premi sebagaimana diatur dalam Pasal: 402, 409, dan 415 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit adalah yang sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian kerja laut, kecuali upah yang dipotong untuk hal-hal yang sudah disetujui oleh anak buah kapal tersebut atau pemotongan yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Pengaturan mengenai pemotongan tersebut menurut Pasal 1602r Kitab Undang–undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut:
· Ganti rugi yang harus dibayar
· Denda–denda yang harus dibayar kepada perusahaan yang harus diberi tanda terima oleh perusahaan (Pasal 1601s KUHPerdata)
· Iuran untuk dana (Pasal 1601s Kitab Undang–Undang
· Hukum Perdata).
· Sewa rumah atau lain–lain yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinas.
· Uang Muka (Persekot) atas upah yang telah diterimanya.
· Harga pembelian barang–barang yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinasnya.
· Kelebihan pembayaran upah-upah yang lalu.
· Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh anak buah kapal (Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
· Istri atau anggota keluarga lainnya sampai dengan keempat dengan jumlah maksimum 2/3 dari upah (Pasal 444-445
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Selain, Pemotongan-pemotongan tersebut diatas, maka besarnya upah anak buah kapal juga dapat berkurang disebabkan, antara lain:
· Denda oleh nahkoda sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
· Pengurangan upah karena sakit yang sampai membuat anak buah kapal tidak dapat bekerja
· Perjalanan pelayaran terputus.
· Ikatan kerja terputus karena alasan–alasan yang sah.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa upah anak buah kapal dapat bertambah besarnya karena:
· Pengganti libur yang seharusnya dinikmati anak buah kapal, akan tetapi tidak diambilnya (Pasal 409 dan 415
· KUH Dagang) atau atas permintaan pengusaha angkutan perairan paling sedikit 20 hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah sejumlah cuti yang tidak dinikmati (Pasal 24
· Peraturan Pemerintah)
· Pembayaran waktu tambahan pelayaran, jika perjanjian kerja laut untuk suatu pelayaran karena suatu kerusakan, sehingga terpaksa berhenti di pelabuhan darurat (Pasal
· 423 KUH Dagang)
· Pembayaran kerja lembur, yaitu jam kerja melebihi jam kerja wajib. Khusus untuk upah lembur hari minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa.
· Menurut Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.7 tentang Kepelautan, Perhitungan upah lembur sebagai berikut: Rumus = Upah minimum x 1,25
· 190
· d. Pembayaran istimewa, karena mengangkut muatan berbahaya, menunda menyelamatkan kapal lain atau mengangkut muatan di daerah yang sedang perang, kecuali untuk tugas negara (Pasal 452f Kitab Undang- undang Hukum Dagang)
· Mengemban tugas yang lebih tinggi yang tidak bersifat insidentil, seperti Mualim II (Pasal 443 Kitab Undang- undang Hukum Dagang).
· Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.
· Kelambatan pembayaran upah dari waktu biasa (Pasal
1801/ dan 1602n Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan pelayaran (Pasal 1602q Kitab Undang–undang Hukum Perdata dan
Pasal 452c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
Tidak diberikan makanan sebagaimana ditetapkan yang menjadi hak anak buah kapal ( Pasal 436 dan 437 Kitab Undang–undang Hukum Dagang)
2). Hak atas tempat tinggal dan makan
Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Pasal 13 Schepelingen Ongevalien (S.O) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, anak buah kapal berhak atas tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak atas makan yang pantas yaitu cukup untuk dan dihidangkan dengan baik dan menu yang cukup bervariasi setiap hari. Ketentuan ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal25, yaitu:
· pengusaha atau perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap anak buah kapal.
· makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3.600 kalori perhari yang diperlukan anak buah kapal agar tetap sehat dalam melakukan tugasnya.
· air tawar harus tetap tersedia di kapal dengan cukup dan memenuhi standar kesehatan.
Apabila ketentuan diatas dilanggar maka dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum, dimana anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan terhadap perusahaan pelayaran untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.
3). Hak Cuti
Ketentuan yang mengatur hak cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan pada umumnya. Pasal 409 KUH Dagang menyebutkan:
“ Bilamana nahkoda atau perwira kapal telah bekerja selama setahun berturut-turut / terus menerus, maka mereka berhak atas cuti selama 14 hari atau bila dikehendaki pengusaha pelayaran bisa dilakukan dua kali, masing-masing delapan hari. Ini dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda” Hak cuti ini gugur bila diajukan sebelum satu tahun masa kerjanya berakhir. Dan hak ini berlaku untuk perjanjian kerja laut yang didasarkan atas pelayaran.
Pasal 415 KUH Dagang menyebutkan:
“Bilamana anak buah kapal telah bekerja selama setahun terus menerus sedangkan perjanjian kerja lautnya bukan perjanjian kerja laut pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”. 4). Hak waktu sakit atau kecelakaan
Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain meliputi:
(1). Sakit Biasa
Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a. Pengobatan sampai sembuh, akan tetapi paling lama 52 minggu bilamana diturunkan dalam kapal, demikian juga bila dia tetap berada di kapal berhak mendapatkan pengobatan sampai sembuh (Pasal 416 KUH Dagang)
b. Pengangkutan cuma-cuma kerumah sakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan ke tempat ditandatanganinya perjanjian kerja laut (Pasal 416 KUH Dagang)
Selama anak buah kapal sakit atau kecelakaan ia berhak atas upah sebesar 80% dengan syarat tidak lebih dari 28 minggu (Pasal
416a KUH Dagang), dan jaminan diperoleh disamping biaya perawatan sampai sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut untuk waktu paling sedikit satu tahun atau bekerja terus menerus selama paling sedikit satu setengah tahun.
Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b Kitab Undang-undang hukum dagang menentukan bahwa jika anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya mendapat perawatan sampai sembuh, dan upah yang diterima diperhitungkan dengan interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua puluh enam) minggu.
Jaminan–jaminan dalam hal perawatan dapat ditolak oleh perusahaan pelayaran, apabila:
· Anak buah kapal menolak menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri ke dokter.
· Anak buah kapal tidak menggunakan kesempatan pengobatan
Menurut ketentuan Pasal 416f Kitab undang-undang Hukum Dagang, tunjangan atau upah dapat tidak dibayar oleh perusahaan pelayaran atau dikurangi jumlahnya bila sakitnya atau kecelakaan yang terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau akibat kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.
(2). Sakit karena kecelakaan
Berdasarkan Pasal 1602 KUHPerdata, Anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak atas:
· Tuntutan ganti rugi bila terbukti kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan pelayaran
· Jika kecelakaan menimpa anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
· Penggantian akibat kecelakaan ditambah dengan hak-hak atas perawatan.
(3). Kapal tenggelam
Pada umumnya hampir semua kapal yang beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan pada P & I Club (Protection and Indernity Club). Jaminan yang diberikan kepada anak buah kapal disesuaikan dengan peraturan perundang– undangan negara mengenai Anak Buah Kapal yang bersangkutan. Jadi jika kapal tenggelam tidak akan memberatkan pihak perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g Kitab Undang-undang Hukum Dagang, bahwa perusahaan wajib memberikan ganti rugi kepada anak buah kapal berupa:
· Jumlah upah sampai dia tiba kembali di tempat dimana perjanjian kerja laut ditandatangani.
· Jumlah upah selama anak buah kapal tersebut belum bekerja paling lama 2 (dua) bulan.
· Ganti rugi akibat kelalaian perusahaan pelayaran berupa barang milik anak buah kapal dan kerugian lain ( Pasal
· 1602w Kitab undang–undang hukum Perdata).
· Bila anak buah kapal meninggal dunia, maka perusahaan pelayaran berkewajiban menanggung biaya penguburan atau pembuangan jenazah ke laut (Pasal 440 Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
Kewajiban Anak Buah kapal
· Bekerja sekuat tenaga, wajib mengerjakan segala sesuatu yang diperintah oleh nahkoda.
· Tidak boleh membawa atau memiliki minuman keras, membawa barang terlarang, senjata di kapal tanpa izin nahkoda ( Pasal 391 )
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
· Keluar dari kapal selalu dengan ijin nahkoda dan pulang kembali tidak terlambat (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
· Wajib membantu memberikan pertolongan dalam penyelamatan kapal dan muatan dengan menerima upah tambahan (Pasal 452/c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
· Menyediakan diri untuk nahkoda selama 3 hari setelah habis kontraknya, untuk kepentingan membuat kisah kapal (Pasal 452/b Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
· Taat kepada atasan, teristemewa menjalankan perintah-perintah nahkoda (Pasal 384 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
Perjanjian Kerja Laut
Perjanjian kerja laut terdapat dalam Pasal 395 Kitab Undang- undang Hukum Dagang pada title ke empat Bagian pertama. Jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka akan tampak bahwa perjanjian kerja laut merupakan perjanjian perburuhan yang bersifat khusus. Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan : “Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Sedangkan, Pengertian Perjanjian kerja laut juga diatur dalam Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan:
“ Perjanjian kerja laut adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk bertindak di bawah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak kapal.”
Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
2000 tentang Kepelautan, hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu perjanjian kerja laut adalah perjanjian kerja perseorangan yang ditandatangani oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di perairan.
Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai Perjanjian kerja yang dibuat antara seorang majikan atau pengusaha kapal dengan seseorang yang mengikatkan diri untuk bekerja padanya, baik nahkoda atau anak kapal dengan menerima upah dan perjanjian tersebut harus dibuat atau ditandatangani dihadapan pejabat yang ditunjuk pemerintah serta pembuatannya harus pula menjadi tanggung jawab perusahaan pelayaran. Maksud dari perjanjian kerja dibuat di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah (Administratur pelabuhan) adalah agar pembuatan akta perjanjian tersebut harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak atau tanpa adanya paksaan dan dalam perjanjian tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian dalam pelaksanaannya administratur pelabuhan harus memberitahu yang seterang-terangnya.
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau perwira kapal harus dibuat secara tertulis, supaya dianggap sah (berlaku) dan ditandatangani oleh kedua belah pihak ( Pasal 399 )
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ).
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan anak kapal harus dibuat dihadapan anak kapal, dihadapan syahbandar atau pegawai yang berwajib dan ditandatangani olehnya, pengusaha kapal dan anak buah kapal tersebut (Pasal 400 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Di samping syarat tertulis perjanjian kerja laut harus memenuhi pula ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain:
1). Adanya kesepakatan atau kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak.
2). Masing-masing mempunyai kecakapan untuk bertindak.
3). Persetujuan mengenai atau mengandung suatu hak tertentu.
4). Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Bentuk Perjanjian Kerja laut
Perjanjian kerja laut dapat dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja
(Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang):
· Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tertentu atau perjanjian kerja laut periode, misal: untuk 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun, dan lain- lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara tegas menegenai lamanya waktu untuk saling mengikatkan diri, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.
· Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tidak tertentu.. Dalam perjanjian ini hubungan kerja berlaku terus sampai ada pengakhiran oleh para pihak atau sebaliknya hubungan kerja berakhir dalam waktu dekat (besok), besok lusa dan sebagainya jika memang salah satu pihak ataupun para pihak menghendakinya.
· Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk satu atau beberapa perjalanan atau trip adalah perjanjian kerja laut yang diselenggarakan berdasarkan pelayaran yang diadakan perusahaan pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Kemudian jika ditinjau dari sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang, yaitu menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
· Perjanjian kerja laut untuk nahkoda
· Perjanjian kerja laut untuk anak buah kapal.
Dilihat dari pihak yang mengikatkan diri, perjanjian kerja laut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
· Perjanjian kerja laut pribadi atau perseorangan, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran.
· Perjanjian kerja laut kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara perusahaan pelayaran atau gabungan perusahaan pelayaran dengan gabungan tenaga kerja (anak buah kapal), dengan syarat masing-masing pihak harus berbentuk badan hukum.
Isi Perjanjian kerja laut
Isi dari Perjanjian kerja laut (Pasal 401 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang) antara lain:
v Nama lengkap, tanggal lahir dan tempat kelahiran dari anak kapal.
v Tempat dan tanggal dilakukan perjanjian. c. Dikapal mana ia akan bekerja
v Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh.
v Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga kerja di kapal, baik sebagai nahkoda atau anak buah kapal.
v f. Pernyataan yang berisi: apakah tenaga kerja tersebut mengikatkan diri untuk tugas-tugas lain selain tugas di kapal.
v g. Nama syahbandar yang menyaksikan atau mengesahkan perjanjian kerja laut itu.
v h. Gaji atau upah dan jaminan-jaminan lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh Undang-undang.
v Saat perjanjian kerja laut itu dimulai.
v j. Pernyataan yang berisi: Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan hari libur atau cuti .
v k. Tanda tangan tenaga kerja, pengusaha pelayaran dan syahbandar
· a). Tanggal ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
· b). Perihal pengakhiran hubungan kerja.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai penerapan Hukum Pelayaran dalam Perjanjian Kerja Laut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kita mengetahui Siapa saja pihak – pihak yang terlibat dalam Pelayaran dan apa Hak serta Kewajiban anak buah kapal?
2. Kita mengetahui pengertian, syarat, bentuk dan isi dari Perjanjian Kerja Laut ( PKL )
1.2. Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian, saran yang perlu dikemukakan
adalah sebagai berikut:
1. Pihak tenaga kerja dikapal atau anak buah kapal (ABK) seharusnya semakin menumbuhkan kesadaran hukum yang tinggi pada diri sendiri sehingga pelanggaran-pelanggaran diatas kapal tidak akan terjadi. Dengan adanya kesadaran hukum yang tinggi maka kinerja tenaga kerja tidak terganggu sehingga dapat terwujud situasi kerja yang saling menghormati, menghargai antara pihak perusahaan dan pihak tenaga kerja atau anak buah kapal (ABK).
2. Pihak Perusahaan, seharusnya pihak perusahaan lebih meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dikapal atau anak buah kapal (ABK) dan keluarganya. Salah satunya dengan mengingat resiko bahaya dalam berlayar dan jauh dari keluarga. Dan harusnya pihak perusahaan lebih menaikkan upah kerja. Walaupun PT.PELNI merupakan BUMN harusnya upah tidak disamakan dengan Pegawai Negeri biasa.
3. Pihak Pemerintah, hendaknya dapat merespon dan lebih memperhatikan nasib para tenaga kerja baik yang didarat maupun yang dilaut. Dan lebih aktif untuk mengadakan pengawasan agar tenaga kerja dapat memperoleh hak mereka sesuai dengan sifat pekerjaan yang mereka lakukan. Dan lebih memperhatikan terhadap segala permasalahan yang dialami oleh Perusahaan yang bergerak dibidang jasa transportasi laut maupun darat.
Artikel SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban
Sangat Bermanfaat Pak\
BalasHapuszone Anroid
All recipes
Cerita Senja
Ternak Lengkap
budidaya Lengkap
budidaya Sukses
Cerita Artis
Kue Makanan